Aisyah binti Abu Bakar
Info pribadi | |
---|---|
Julukan | Ummu Abdullah |
Lakab | Ummul Mukminin • Humaira' |
Kerabat termasyhur | Abu Bakar • Muhammad bin Abu Bakar |
Lahir | Tahun keempat Bi'tsah |
Tempat Tinggal | Makkah • Madinah |
Wafat/Syahadah | 10 Syawal 50 H |
Penyebab Wafat /Syahadah | Kematian alami / Wafat ditangan Muawiyah |
Tempat dimakamkan | Jannatul Baqi |
Informasi Keagamaan | |
Memeluk Islam | Tahun 4 Bi'tsah |
Keikutsertaan dalam Ghazwah | Perang Jamal |
Terkenal sebagai | Istri-Istri Nabi saw • Peristiwa Ifk • Perang Jamal |
Peran utama | Istri-Istri Nabi saw • Perawi hadis Nabi saw • Individu yang bersebrangan dengan Imam Ali as |
Aisyah binti Abu Bakar (bahasa Arab:عائشة بنت أبي بكر) (W. 58 H) adalah istri ketiga Nabi Muhammad saw setelah wafatnya Khadijah al-Kubra dan menikah dengan Nabi setelah Saudah. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai usianya saat menikah. Peristiwa Ifk adalah salah satu peristiwa paling terkenal dalam kehidupan Aisyah, yang menyebabkan turunnya beberapa ayat dari Surah An-Nur, di mana Allah swt mengecam para penuduh.
Aisyah, dikenal dengan gelar Ummul Mukminin (Ibu Orang-orang Beriman), terkenal di antara istri-istri Nabi saw karena aktivitas, orientasi politik dan peran yang dimainkannya setelah wafatnya Nabi saw. Dia berupaya mendukung khalifah pertama dan kedua dengan meriwayatkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan mereka, sehingga membantu mengukuhkan posisi mereka. Pada masa kekhalifahan Utsman, Aisyah awalnya mendukungnya, tetapi kemudian berbalik melawannya dan ikut serta dalam pemberontakan melawan Utsman. Setelah pembunuhan Utsman, Aisyah menuntut balas atas kematiannya dan bangkit melawan Imam Ali as, memicu perang Jamal bersama beberapa sahabat.
Ahlusunah meriwayatkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan Aisyah dan kecintaan Nabi saw kepadanya, sehingga memberikan posisi yang mulia baginya. Namun, di sisi lain, Syiah mengkritik keras sikap dan tindakan Aisyah selama masa kekhalifahan Imam Ali as, perannya dalam memicu perang Jamal, serta upayanya menghalangi pemakaman jenazah Imam Hasan as di samping makam Nabi saw. Aktivitas Aisyah yang menentang Imam Ali as dan Imam Hasan as membuatnya dianggap sebagai salah satu pemimpin Utsmaniyah.
Biografi
Aisyah binti Abu Bakar berasal dari keluarga "Taim" dan ibunya adalah "Ummu Ruman" binti Amir bin Uwaimir dari suku Bani Kinanah.[1] Dia lahir di Mekah pada tahun keempat atau kelima setelah bi'tsah.[2]
Aisyah memiliki kunyah "Ummu Abdillah", yang diberikan karena keponakannya, Abdullah bin Zubair.[3] Dalam banyak sumber sejarah, dia disebut sebagai "Ummul Mukminin".[4]
Dinukilkan bahwa Nabi saw memanggil Aisyah dengan sebutan "Humaira".[5] Sebuah riwayat terkenal menyebutkan bahwa Nabi saw berkata kepada Aisyah: کَلِّمینی یا حُمَیْراء (Wahai Humaira, berbicaralah kepadaku). Namun, riwayat ini pertama kali disebutkan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dan sebelumnya tidak ditemukan dalam kitab mana pun. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Fattani, seorang ulama Ahlusunah (W. 986 H), riwayat yang disebutkan Al-Ghazali tidak memiliki dasar yang valid.[6] Sayid Murtadha Askari, seorang ulama Syiah, juga menolak riwayat ini dan menganggapnya sebagai kebohongan yang dibuat oleh Al-Ghazali dan dinisbatkan secara palsu kepada Nabi saw.[7]
Wafat
Aisyah wafat pada tanggal 10 Syawal tahun 58 H (atau 57 H) pada usia 66 tahun di Madinah. Abu Hurairah menyalatkan jenazahnya dan dia dimakamkan di pemakaman Baqi'.[8] Beberapa sumber menyebutkan bahwa wafatnya terjadi pada 17 Ramadhan tahun yang sama.[9]
Terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab kematian Aisyah. Sebagian ulama, berbeda dengan Ahlusunah yang menganggap kematiannya alami, merujuk pada sumber-sumber yang menyebutkan bahwa Muawiyah adalah dalang di balik kematian Aisyah. Disebutkan bahwa Muawiyah menggali lubang dan menjatuhkan ke dalamnya.[10] Alasan di balik ini adalah protes Aisyah terhadap upaya Muawiyah mengambil baiat untuk Yazid.[11] Mereka yang meyakini teori pembunuhan ini menyebutkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada akhir bulan Dzulhijjah.[12]
Menikah dengan Rasulullah saw
![]() | |
Khadijah al-Kubra sa | (27 sebelum Hijrah/595) |
Saudah | (sebelum Hijrah/sebelum 622) |
Aisyah | (1, 2, atau 4 H/622, 623, atau 625) |
Hafsah | (3 H/624) |
Zainab (binti Khuzaimah) | (3 H/624) |
Ummu Salamah | (4 H/625) |
Zainab (binti Jahsy) | (5 H/626) |
Juwairiyah | (5 H atau 6 H/626 atau 627) |
Ummu Habibah | (6 atau 7 H/627 atau 628) |
Mariyah | (7 H/628) |
Shafiyah | (7 H/628) |
Maimunah | (7 H/628) |
Aisyah adalah salah satu istri Nabi Muhammad saw yang menikah dengan beliau setelah wafatnya Khadijah dan setelah pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam'ah bin Qais.[13] Pernikahan ini berlangsung selama sembilan tahun lima bulan.[14] Meskipun semua sepakat bahwa pernikahan ini terjadi setelah wafatnya Khadijah, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah pernikahan tersebut terjadi dua atau tiga tahun sebelum Hijrah.[15] Beberapa laporan menyebutkan bahwa pernikahan Nabi saw dengan Aisyah terjadi sebelum pernikahan beliau dengan Saudah, namun riwayat-riwayat yang lebih populer menyatakan bahwa pernikahan Nabi saw dengan Saudah terjadi terlebih dahulu.[16]
Dinukil bahwa Khawlah, istri Utsman bin Mazh'un, mendatangi Abu Bakar dan membicarakan rencana pernikahan ini dengan ayah Aisyah. Nabi saw menikahi Aisyah pada bulan Syawal tahun ke 11 setelah bi'tsah[17] dengan mahar sebesar 400 dirham.[18] Menurut Sayid Murtadha Askari, seorang penulis sejarah Syiah (W. 1386 H), Aisyah dinikahi oleh Nabi dua tahun sebelum Hijrah (11 bi'tsah), dan pernikahan resmi mereka terjadi satu setengah tahun setelah Hijrah, yaitu setelah Perang Badar pada bulan Syawal.[19]
Usia Aisyah saat Menikah
Terdapat perbedaan pendapat mengenai usia Aisyah saat menikah dengan Nabi saw, dengan rentang usia yang disebutkan antara 6 hingga 18 tahun.[20]
Menurut riwayat populer dalam sumber-sumber sejarah, Aisyah berusia sekitar enam atau tujuh tahun saat menikah dengan Nabi saw,[21] namun pernikahan resmi terjadi setelah Hijrah ke Madinah dan setelah perang Badar,[22] ketika Aisyah berusia lebih dari sembilan tahun.[23] Dengan demikian, Aisyah tinggal bersama Nabi selama delapan tahun lima bulan.
Namun, beberapa penelaah berpendapat bahwa analisis terhadap berbagai laporan sejarah menunjukkan bahwa Aisyah berusia 18 tahun saat menikah dengan Nabi Muhammad saw. Mereka berargumen bahwa Aisyah termasuk di antara orang-orang yang pertama memeluk Islam dan masih anak-anak pada awal bi'tsah. Menurut mereka, jika Aisyah berusia minimal tujuh tahun pada saat bi'tsah, maka dia berusia 17 tahun saat menikah dengan Nabi.[24]
Sayid Ja'far Murtadha Amili tidak menerima usia muda Aisyah dan menganggap usia 13 hingga 17 tahun sebagai usia yang lebih masuk akal saat akad nikah. Dia mengutip Ibnu Ishaq yang menyebutkan bahwa Aisyah termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam setelah 18 orang pertama, menjadikannya orang ke 19 yang memeluk Islam. Ja'far Murtadha melanjutkan bahwa jika Aisyah berusia tujuh tahun pada saat bi'tsah, maka dia berusia 17 tahun saat akad nikah dan 20 tahun saat Hijrah, kecuali jika dikatakan bahwa dia memeluk Islam sebelum berusia tujuh tahun.[25]
Kamar Nabi
Kamar Nabawi adalah tempat dimakamkannya Nabi Muhammad saw, yang sebelumnya merupakan tempat tinggal beliau bersama istrinya, Aisyah. Setelah pembangunan dan penyempurnaan Masjid Nabawi, dua kamar dibangun di sebelah masjid untuk tempat tinggal Nabi dan istri-istrinya; satu kamar untuk Saudah dan satu kamar untuk Aisyah.[26] Nabi Muhammad saw menikahi kedua istri tersebut setelah wafatnya Khadijah.[27] Rumah-rumah ini terletak di sebelah timur Masjid Nabawi.[28] Nabi Muhammad saw tinggal di kamar-kamar ini hingga akhir hayatnya.[29]
Nabi Muhammad saw jatuh sakit di rumah ini, wafat dan orang-orang melaksanakan salat jenazah untuk beliau di tempat ini.[30] Atas usulan Imam Ali as, Nabi saw dimakamkan di rumah yang sama di mana beliau wafat.[31] Pada akhir abad pertama Hijriah, tembok-tembok dibangun di sekitar kamar Nabawi dengan bentuk persegi lima. Hal ini dilakukan agar tidak menyerupai Ka'bah.[32] Dalam rekonstruksi berikutnya, kamar Nabawi menjadi bagian dari Masjid Nabawi dan ditempatkan di dalam sebuah area berpagar bersama dengan rumah Sayidah Fatimah az-Zahra sa.[33]
Peristiwa Ifk (berita bohong)
Berdasarkan berbagai riwayat dari Ahlusunah, Aisyah turut serta bersama Nabi Muhammad saw dalam perang Bani Musthaliq.[34] Dalam perjalanan pulang dari peperangan ini, ketika rombongan berhenti untuk beristirahat, Aisyah menjauh dari perkemahan untuk buang hajat. Namun, ia kehilangan kalungnya dan menghabiskan waktu untuk mencarinya.[35] Para pasukan, yang tidak menyadari ketidakhadiran Aisyah, melanjutkan perjalanan dan membawa tandu Aisyah dengan anggapan bahwa ia berada di dalamnya.[36] Setelah kembali ke perkemahan, Aisyah mendapati tempat tersebut kosong dan memutuskan untuk tetap di sana hingga seseorang bernama Shafwan bin Mu’aththal menemukannya. Shafwan memberikan untanya kepada Aisyah dan membawanya kembali ke rombongan.[37] Setelah kembali dari perjalanan ini, Aisyah jatuh sakit dan menyadari perubahan sikap Nabi Muhammad saw serta adanya desas-desus tentang hubungannya dengan Shafwan.[38] Beberapa waktu kemudian, turunlah ayat-ayat ifk (ayat-ayat yang menegur para penuduh).[39] Ahlusunah menganggap turunnya ayat-ayat ini sebagai keutamaan besar bagi Aisyah.[40]
Meskipun laporan ini disebutkan dalam berbagai riwayat Ahlusunah, menurut Sayid Ja'far Murtadha Amili, seorang sejarawan Syiah, hampir semua riwayat ini diriwayatkan oleh Aisyah sendiri.[41] Dalam beberapa sumber Syiah, peristiwa ifk juga dikaitkan dengan tuduhan yang dilontarkan oleh kaum munafik terhadap Aisyah.[42] Namun, beberapa penelaah Syiah berpendapat bahwa riwayat-riwayat ini memiliki beberapa kelemahan[43] dan kisah ini dianggap palsu dengan tujuan untuk menciptakan keutamaan bagi Aisyah.[44] Dalam tafsir Ali bin Ibrahim al-Qummi, terdapat riwayat dari Imam Baqir as yang menyatakan bahwa peristiwa ifk sebenarnya terkait dengan tuduhan Aisyah terhadap Mariyah al-Qibthiyah.[45] Riwayat ini hanya diterima oleh sebagian ulama Syiah pada periode-periode terakhir,[46] sementara yang lain menganggapnya memiliki kelemahan dan tidak menerimanya.[47]
Peristiwa Tahrim (pengharaman)
Peristiwa Tahrim adalah peristiwa yang berhubungan dengan beberapa ayat pertama dari Surah al-Tahrim. Dalam ayat tersebut Allah swt menegur Nabi saw karena mencegah dirinya melakukan sesuatu yang halal guna menyenangkan istri-istrinya. Menurut keterangan Tafsir Nemuneh (al-Amtsal) kronologinya adalah sebagai berikut:
Ketika Nabi saw mengunjungi istrinya yang bernama Zainab binti Jahsy beliau disuguhi madu, dan beliau pun meminumnya. Hal itu diketahui oleh Aisyah sehingga timbul rasa tidak suka di hatinya. Aisyah berkata, “Aku dan Hafshah bersepakat bahwa siapa saja di antara kami yang didatangi Nabi saw hendaknya berkata, ‘Apakah anda habis makan getah Maghafir?'”. Maghafir adalah getah berbau tidak sedap berasal dari sebuah pohon (Urfuth) yang tumbuh di Hijaz. Padahal Nabi saw sendiri tidak ingin mulut, tubuh dan bajunya beraroma tidak sedap.
Suatu hari Nabi saw mendatangi Hafshah. Hafshah mengatakan pada Nabi saw sesuai apa yang sudah dia sepakati dengan Aisyah. Nabi saw menjawab, “Aku tidak makan Maghafir, tapi madu yang dikasih Zainab binti Jahsy. Kalau begitu, aku janji tidak akan minum madu lagi. Tapi jangan katakan tentang hal ini pada orang lain. Kalau sampai terdengar orang lain mereka akan bertanya-tanya, ‘kenapa Nabi mengharamkan dirinya makan makanan halal?' Atau mungkin saja mereka akan meniru perbuatan ini. Jika hal ini sampai terdengar Zainab maka dia akan merasa sedih”.
Namun ternyata Hafshah tidak menjaga amanat Nabi saw. Ujung-ujungnya dia mengungkap rahasia itu pada orang lain.[48]
Riwayat tersebut terdapat dalam banyak referensi dengan redaksi yang berbeda,[49] termasuk dalam kitab Shahih Bukhari.[50]Berkenaan dengan hal ini Bukhari meriwayatkan riwayat lain yang dikutip dari Khalifah Umar. Disebutkan, saat itu Aisyah dan Hafshah bersekongkol untuk memperdayai Nabi saw.[51]Bahkan Qurthubi[52] dan Ibnu Qayyim[53] berpendapat bahwa maksud ayat 10 dari Surah al-Tahrim [54] adalah untuk mengancam Aisyah dan Hafshah.
Aisyah dan Para Khalifah
Pada periode kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Aisyah tidak secara langsung ikut campur dalam masalah politik. Sebagai istri Nabi saw sekaligus putri dari khalifah pertama, terlebih karena dukungan dari khalifah pertama dan kedua, otomatis dia memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Menurut sebagian peneliti Syiah, Aisyah berperan penting bagi Abu Bakar dalam meraih posisi khalifah. Terlebih pada akhir-akhir hayat Nabi saw, dia semakin giat merancang strategi supaya ayahnya berhasil menjadi khalifah. Di antara yang dia lakukan untuk memuluskan rencananya adalah mengutip hadis-hadis yang dinisbatkan pada Nabi saw berkenaan dengan keutamaan dan kemuliaan Abu Bakar dan Umar.[55] Tercatat dalam sejarah bagaimana Abu Bakar dan Umar memanfaatkan Aisyah demi meraih ambisi mereka. Keduanya banyak memberikan hadiah pada Aisyah dan lebih mengistimewakannya dibanding istri-istri Nabi saw lainnya.[56] Menurut Syiah itu adalah bentuk ketidakadilan.[57]
Pada tahun-tahun pertama kekhalifahan Utsman, hubungan Aisyah dan Utsman sangat baik. Namun sejak pertengahan tahun kedua antara keduanya terjadi permusuhan. Sebelum timbul permusuhan Aisyah sempat menukil banyak hadis tentang keutamaan Utsman. Berikut kisah dari salah satu kandungan hadis yang menyinggung keutamaan Utsman yang diriwayatkan Aisyah:
Suatu ketika Rasulullah saw sedang berbaring sambil mengenakan kain milik Aisyah. Saat itu Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengannya. Abu Bakar diizinkan masuk, sedang Rasulullah saw tetap dalam posisinya.
Lalu Umar juga meminta izin untuk bertemu Nabi saw, dia pun diizinkan masuk. Kemudian Utsman datang meminta izin untuk bertemu beliau. Saat itu Rasulullah saw segera bersiap-siap dan memerintahkan Aisyah untuk merapikan pakaiannya.
Aisyah bertanya pada Rasulullah saw, "Wahai Rasulallah, kenapa ketika bertemu Abu Bakar dan Umar engkau tidak beranjak dari posisimu. Namun ketika bertemu Utsman engkau menyambutnya demikian dan merapikan pakaianmu?"
Rasulullah saw menjawab, "Bagaimana aku tidak menyambut dan menghormatinya, sedangkan malaikat saja segan dan malu kepadanya."[58]
Sejak pertengahan tahun kedua Aisyah mulai menampakkan diri untuk terjun dalam perpolitikan Islam saat itu. Dia bergabung dengan kelompok oposisi Khalifah Utsman. Aisyah banyak melontarkan kritik keras pada Utsman melalui ucapan-ucapan yang disampaikan pada umat, bahkan beberapa kali dia bertemu langsung dengan Utsman di Masjid Madinah. Saat itu Aisyah menilai Utsman sudah layak mati.[59]
Aisyah dan Imam Ali as
Permusuhan
Sebagian penulis menyatakan, rasa tidak senang Aisyah pada Imam Ali as sudah timbul sejak Nabi saw masih hidup.[60] Saking bencinya pada Imam Ali as dan Ahlulbait, dia menolak ikut berkabung saat Sayidah Fatimah az-Zahra sa wafat.[61] Bahkan sebagian sumber menyebutkan, saat itu Aisyah justru bergembira.[62]
Aisyah berkata pada Ibnu Abbas, tempat yang paling aku benci adalah yang di situ ada Bani Hasyim-nya.[63] Karena kebenciannya yang mendalam pada Imam Ali as dia enggan menyebut nama Imam Ali as. Ketika menceritakan kedatangan Nabi saw pada akhir-akhir hayat beliau, Aisyah berkata, "Ada dua orang yang memapah Nabi saw, Qutsam bin Abbas dan satu orang lagi,” perawi menyebutkan, orang tersebut maksudnya adalah Imam Ali as.[64]
Aisyah berharap kekhalifahan setelah Utsman dapat kembali dipegang Kabilah Bani Taim. Setelah kematian Utsman, Aisyah mendengar bahwa Thalhah bin Ubaidillah diangkat menjadi khalifah. Kabar itu membuatnya sangat gembira sehingga dia segera berangkat ke Madinah.[65] Namun belum sampai ke Madinah, Aisyah menerima kabar bahwa umat telah berbaiat pada Imam Ali as. Mengetahui hal itu dia langsung kembali ke Mekkah. Di sana dia mulai menyebarkan propaganda berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami Utsman.[66] Aisyah berkata, satu malamnya Utsman itu sebanding dengan seumur hidupnya Imam Ali as.[67]
Perang Jamal
Peran Aisyah dalam pergerakan melawan Khalifah Ali as yang berujung pada Perang Jamal adalah bukti nyata permusuhannya dengan Imam Ali as. Meski demikian, sebagian penulis Sunni menilai apa yang dilakukan Aisyah itu karena hasutan orang-orang sekitarnya yang memiliki niat buruk. Mereka menganggap, langkah yang diambil Aisyah adalah hasil ijtihad yang ternyata keliru dan telah disesalinya.[68]
Aisyah sendiri termasuk orang yang paling keras menentang Utsman. Ketika Utsman terbunuh dia berada di Mekah. Begitu tahu kalau Imam Ali as yang akhirnya menggantikan Utsman, Aisyah tetap berdiam diri di Mekkah. Setelah beberapa waktu Thalhah dan Zubair datang ke Mekkah. Bersama kedua pembesar itu dan pasukan dari berbagai kabilah Arab, Aisyah berangkat menuju Bashrah dengan dalih ingin menuntut balas kematian Utsman.[69] Saat berperang melawan Imam Ali as Aisyah mengendarai unta, karena itu peperangan tersebut dikenal dengan sebutan Perang Jamal atau Perang Unta.[70] Perang Jamal adalah perang saudara pertama yang terjadi di tubuh Islam.
Kesyahidan Imam Ali as
Sebagian sejarawan menyebutkan, ketika menerima kabar wafatnya Imam Ali as, Aisyah justru merasa lega dan berbunga-bunga.[71] Abul Faraj Isfahani meriwayatkan, Aisyah bahkan melakukan sujud syukur karena wafatnya Imam Ali as.[72] Aisyah menanyakan nama pembunuh Imam, ketika diberitahu bahwa pembunuhnya bernama Ibnu Muljam, dia langsung membaca syair guna memujinya:
“Meski saat mati dia (Ali) tidak dekat dengan kami, namun semoga tetap jaya pemuda yang berhasil membunuhnya dan menyenangkan kami.”
Perkataan-perkataan yang dilontarkan Aisyah tentang Imam Ali as sampai pada Zainab binti Ummu Salamah. Dengan keras ia memprotes tindakan Aisyah. Ia berkata, “Apa benar kamu mengatakan itu tentang Ali dan malah gembira saat mendengar kabar kematiannya?,” menerima cercaan itu Aisyah meminta maaf dan berkata, “Aku sekarang banyak lupa, setiap kali aku lupa sesuatu tolong ingatkan aku.” Menurut riwayat yang disampaikan Abul Faraj Isfahani, setelah berbincang dengan Zainab, Aisyah menyampaikan syair untuk menjawab apa yang dilontarkan Zainab padanya yang kandungannya seperti ini:
“Di Kalangan kami juga sudah biasa memuji teman dengan berbagai panggilan dan julukan, kami akan membuat syair untuk memuji mereka. Tapi zaman itu sudah lewat. Kalau kau memuji seseorang pasti akan cepat terlupakan, tidak ada gunanya”.[73]
Karena bangga dengan Ibnu Muljam, Aisyah sampai menamai budaknya dengan Abdurrahman. Abdurrahman adalah nama pembunuh Imam Ali as, lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muljam al-Muradi.[74]
Aisyah dan Muawiyah
Banyak referensi menyatakan Muawiyah banyak memberikan hadiah pada Aisyah. Meski demikian, sedikit banyak dia tetap menentang dan memprotes pemerintahan yang dijalankan Muawiyah. Bahkan sebenarnya Aisyah sangat membenci Muawiyah, terlebih setelah saudaranya yang bernama Muhammad bin Abu Bakar terbunuh atas perintahnya. Dia juga sangat marah saat Hujr bin Adi terbunuh.[75] Kabarnya ketika Aisyah mengetahui Hujr bin Adi ditawan Muawiyah, dia mengutus orang untuk membebaskannya. Namun saat utusan itu tiba di Syam ternyata Hujr dan teman-temannya sudah dibunuh.[76]
Pemakaman Jenazah Imam Hasan as
Karena Syiah Ahlulbait as banyak mengkritik perilaku Aisyah, untuk membalasnya dia melarang jenazah Imam Hasan as dimakamkan di dekat makam Rasulullah saw. Letak makam Rasulullah saw berada di dalam rumah yang saat itu ditinggali Aisyah. Di sana juga terdapat kubur Abu Bakar dan Umar. Demi memenuhi wasiat Imam Hasan as, sebenarnya Imam Husain as hendak memakamkan jenazah saudaranya itu di samping makam Nabi saw, namun Aisyah menghalanginya dengan bantuan pemimpin Madinah. Guna menghindari bentrokan, Imam Husain as akhirnya membatalkan maksudnya.[77]
Peran Aisyah dalam Periwayatan Hadis
Aisyah termasuk perawi penting yang meriwayatkan banyak perkataan dan tindakan Nabi saw. Yang diriwayatkannya lebih dari 2.100 hadis. Sebagian riwayat yang disampaikan Aisyah mendapat kritikan dari pihak Syiah dan masih perlu dikaji ulang.[78]
Catatan Kaki
- ↑ Ibnu Sa'd, Al-Thaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 46; Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 1, hlm. 409.
- ↑ Askari, Naqsy-e Aisyah dar Ahadits-e Islam, jld. 1, hlm. 45; Ibnu Hajar, Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 231.
- ↑ Ibnu Sayid al-Nas, 'Uyun al-Atsar, jld. 2, hlm. 368; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 14, hlm. 22.
- ↑ Ibnu Thulun, Al-Aimmah al-Itsna 'Asyar, hlm. 131.
- ↑ Ibnu Qutaibah Dinawari, Al-Imamah wa al-Siyasah, hlm. 82.
- ↑ Al-Fattani, Tadzkirah al-Maudhu'at, jld. 196.
- ↑ Askari, Ahadits Ummu al-Mu'minin Aisyah, jld. 2, hlm. 25-26.
- ↑ Dzahabi, Tarikh Islam, jld. 4, hlm. 164; Ibnu Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 3, hlm. 520.
- ↑ Muqrizi, Imta' al-Asma', jld. 6, hlm. 42.
- ↑ Bayadhi, Al-Shirath al-Mustaqim, jld. 3, hlm. 48.
- ↑ Hur Amili, Itsbat al-Hudat, jld. 3, hlm. 402.
- ↑ Sayid Ibnu Thawus, Al-Tharaif, jld. 2, hlm. 503.
- ↑ Ibnu Abd al-Bar, Al-Isti'ab, jld. 4, hlm. 1881.
- ↑ Ibnu Hizam, Jawami' al-Sirah al-Nabawiyah, hlm. 27.
- ↑ Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 22, hlm. 235; Ibnu Hajar, Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 232.
- ↑ Ibnu, Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 46; Ibnu Qutaibah, Al-Ma'arif, hlm. 133-134; Shalihi Syami, Subul al-Huda, jld. 11, hlm. 45.
- ↑ ibnu Sayid al-Nas, 'Uyun al-Atsar, jld. 2, hlm. 368.
- ↑ Suhaili, Al-Raudh al-Unuf, jld. 7, hlm. 534.
- ↑ Askari, Naqsy-e Aisyah dar Ahadits Islam, jld. 1, hlm. 45.
- ↑ Ibnu Hajar, Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 232; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 22, hlm. 191.
- ↑ Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 47-48.
- ↑ Askari, Ahadits Ummu al-Mu'minin Aisyah, jld. 1, hlm. 27.
- ↑ Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 644; Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 47-48.
- ↑ Taqi Zadeh Dawari, Tashwir Khanewadeh Payambar dar Dairah al-Ma'arif Islam, hlm. 92-93.
- ↑ Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabawi al-A'zham, jld. 3, hlm. 285-87.
- ↑ Pisywayi, [1], website Jami' Ilm Insani.
- ↑ Pisywayi, [2], website Jami' Ilm Insani.
- ↑ Al-Anshari, Imarah wa Tausi'ah al-Masjid al-Nabawi al-Syarif 'Abra al-Tarikh, hlm. 61.
- ↑ Pisywayi, [3], website Jami' Ilm Insani.
- ↑ Ibnu Sa'ad, At-Thabaqat al-Kubra, jld. 2 hlm. 220.
- ↑ Muhaddits Arbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma'rifah al-Aimmah, jld. 1, hlm. 19.
- ↑ Al-Anshari, 'Imarah wa Tausi'ah al-Masjid al-Nabawi al-Syarif 'Abra al-Tarikh, hlm. 63.
- ↑ Ja'fariyan, Atsar Islami Makkah wa Madinah, hlm. 256.
- ↑ Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. hlm. 101.
- ↑ Waqidi, Al-Maghazi, jld. 2, hlm. 428.
- ↑ Ibnu Hisyam, Al-Sirah Al-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 298.
- ↑ Muslim, Shahih Muslim, jld. 4, hlm. 2129.
- ↑ Shan'ani, Al-Mushannaf, jld. 5, hlm. 410.
- ↑ Wahidi Naisyaburi, Asbab Nuzul al-Qur'an, hlm. 332.
- ↑ Fakhrurazi, At-Tafsir al-Kabir, jld. 23, hlm. 338; Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, jld. 6, hlm. 191.
- ↑ Amili, Hadits al-Ifk, hlm. 90.
- ↑ Ibnu Muzahim, Waq'ah Shiffin, hlm. 523; Nu'mani, Risalah al-Muhkam wa al-Mutasyabih, hlm. 156; Syekh Mufid, Al-Jumal, hlm. 157; Syekh Thusi, At-Tibyan, jld. 7, hlm. 415.
- ↑ Lih. Amili, Hadits al-Ifk, hlm. 55-334; Askari, Ahadits Ummu al-Mu'minin Aisyah, jld. 2, hlm. 167-181.
- ↑ Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-A'zham, jld. 12, hlm. 77-78, 81, 97.
- ↑ Qummi, Tafsir al-Qummi,, jld. 2, hlm. 99.
- ↑ Khasyn, Abhats Haula al-Sayidah Aisyah, hlm. 258.
- ↑ Thabathaba'i, Al-Mizan, jld. 15, hlm. 89; Fadhlullah, Tafsir min Wahyi al-Qur'an, jld. 16, hlm. 252-257; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 14, hlm. 391-393; Subhani, Mansyur Jawid, jld. 9, hlm. 118.
- ↑ Babai, Barghuzideh Tafsir Nemuneh, jld. 5, hlm. 222.
- ↑ Lih. Husaini Fatimi, Naqd-o Barresi Didghaho-e Maujud Darbare-e Ifsyae-e Raz-e Payambar Saw Dar Ayat-e Ibtidai Surehe-e Tahrim.
- ↑ Shahih al-Bukhari, jld. 5, hlm. 4964, h. 4966, kitab al-Thalaq, bab:لِمَ تُحَرِّمُ ما أَحَلَّ الله لك
- ↑ Shahih Bukhari, jld. 4, hlm. 1868, h. 4630, kitab al-Tafsir, bab:وَإِذْ أَسَرَّ النبی إلی بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِیثًا
- ↑ Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, jld. 18, hlm. 202.
- ↑ Ibnu Qayyim, I'lam al-Muwaqqi'in ‘an Rabbil ‘Alamin, jld. 1, hlm. 189. Ibnu Qayyim, al-Amtsal fi al-Qur'an al-Karim, jld. 1, hlm. 57.
- ↑ “Allah menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. Kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah. (Kepada mereka) dikatakan, "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)," Qs. al-Tahrim: 10.
- ↑ Lih. Waridi, Naqsye Hamsaran-e Rasul-e Khuda dar Hukumat-e Amir-e Mukminan, hlm. 114.
- ↑ Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 53.
- ↑ Di bawah bimbingan Taqi Zadeh Dawari, Tashwir-e Khanewadeh-e Payambar, hlm. 115-116.
- ↑ Askari, hlm. 146-147.
- ↑ Ibnu A'tsam, al-Futuh, jld. 2, hlm. 421.
- ↑ Waridi, Naqsye Hamsaran-e Rasul-e Khuda dar Hukumat-e Amir-e Mukminan, hlm. 103.
- ↑ Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 9, hlm. 198.
- ↑ Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 9, hlm. 198.
- ↑ Al-Futuh, jld. 3, hlm. 337. Natsr al-Darr, jld. 4, hlm. 21, dikutip dari Ja'farian, hlm. 83.
- ↑ Musnad Ahmad, jld. 6, hlm. 34-38. dikutip dari Ja'farian, hlm. 83.
- ↑ Ja'farian, hlm. 83.
- ↑ Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 217-218, jld. 5, hlm. 91. Ibnu Abil Hadid, jld. 6, hlm. 215, dikutip dari Ja'farian, hlm. 83.
- ↑ Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 91, dikutip dari Ja'farian, hlm. 83.
- ↑ Lih. Nadwi, Sirah al-Sayidah Aisyah Ummul Mukminin, hlm. 189-192.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 71-72.
- ↑ Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, jld. 2, hlm. 180-181.
- ↑ Al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 29. Al-Kamal fi al-Tarikh, jld. 2, hlm. 743. Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 505.
- ↑ Maqatil al-Thalibin, jld. 1, hlm. 55.
- ↑ Maqatil al-Thalibin, jld. 1, hlm. 55.
- ↑ Al-Jamal, hlm. 27.
- ↑ Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 205. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 257.
- ↑ Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 6, hlm. 243.
- ↑ Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, jld. 2, hlm. 225.
- ↑ Lih. Askari, Ahadits Ummil Mukminin Aisyah.
Daftar Pustaka
- Ibnu Atsir, Izzuddin. Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah. Beirut: Darul Fikr, 1409/1989.
- Ibnu Atsir, Ali bin Abi al-Karam. al-Kamil fi al-Tarikh. riset: Umar Abdussalam Tadamuri, Darul Kitab al-Arabi, Beirut: Lebanon, cetakan I, 1417 H.
- Ibnu al-Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Zadul Masir fi Ilmi al-Tafsir. al-Maktab al-Islami, Beirut: cetakan III, 1404 H.
- Ibnu Sa'ad, Muhammad. al-Thabaqat al-Kubra. riset: Muhammad Abdul Qadir Atha, Beirut: darul Kutub al-Ilmiah, cetakan I, 1410 H/1990.
- Ali Muhammad. Al-Isti'ab fi Ma'rifah al-Ashhab. riset: Beirut: Darul Jail, 1412 H/1992.
- Ibnu Qutaibah, Abdullah bin Muslim. al-Ma'arif, riset: Tsarwat Ukasyah. Kairo: al-Haiat al-Mishriah al-‘Ammah li al-Kitab, cetakan II, 1992.
- Ibnu Qutaibah, Abdullah bin Muslim, al-Imamah wa al-Siyasah al-Ma'ruf bi Tarikh al-Khulafa, riset: Ali Syiri, Beirut: Darul Adhwa, cetakan: I, 1410 H.
- Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Ayyub, I'lam al-Muwaqqi'in ‘An Rabbil ‘Alamin, riset: Thaha Abdurrauf Saad, Darul Jail, Beirut: 1973.
- Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Ayyub, al-Amtsal fi al-Qur'an al-Karim, riset: Ibrahim Muhammad, Maktabah al-Shahabah, Mesir, 1406 H, cetakan I.
- Ibnu Hisyam, Abdul Malik, al-Sirah al-Nabawiah, riset: Muthafa al-Saqa, Abdul Hafiz dan Ibrahim al-Abyari, Beirut: Darul Ma'rifah.
- Abi Hayyan, Muhammad bin Yusuf, Tafsir al-Bahr al-Muhith, riset: al-Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud, Darul Kutub al-Ilmiah, Libanon, Beirut: cetakan I, 1422 H.
- Ibnu Khallkan, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Abi Abi Bakar bin Khallkan Barmaki Irbili, Wafayat al-A'yan wa Anbau Abana al-Zaman, riset: Ihsan Abbas, Daru Shadir, Bairut.
- Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, riset: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Mesir.
- Darul Haya al-Kutub al-Arabiah, 1387 Hs.
- Abul Faraj Isfahani, Maqatil al-Thalibin, Ali bin al-Husain bin Muhammad bin Ahmad bin al-Haitam al-Marwani al-Umawi. Abul Faraj al-Isfahani, riset: al-Muhakkik Sayid Ahmad Shaqr, Darul Ma'rifah, Bairut.
- Babai, Ahmad Ali, Barghuzide Tafsir Nemuneh, Tehran: Darul Kutub al-Islamiah, 1382 Hs.
- Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, riset: Musthafa Daib al-Bagha, Daru Ibn Katrsir, al-Yamamah, Beirut: cetakan III, 1407 H.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Ansabul Asyraf, jld. 1, riset: Muhammad Hamidullah, Mesir, Darul Ma'arif, 1959.
- Taqi Zadeh Dawari, Tashwir-e Khanewadeh-e Payambar Dar Daereh-e Maarif Islam, Qom.
- Tsa'labi, Abdurrahman bin Muhammad, al-Jawahir al-Hassan Fi Tafsir al-Qur'an, Yayasan al-A'lami lil Mathbu'at, Bairut.
- Tsa'labi, Ahmad bin Muhammad, al-Kasyf wa al-Bayan, Abi Muhammad bin Asyur, Daru Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut: cetakan I, 1422 H/2002.
- Ja'farian, Rasul, Hayat-e Fikri wa Siyasi-e Imaman-e Syiah As, Ansharian, Qom: 1387 Hs.
- Husain Fatimi, Sayid Ali, Naqd-o Barresi Didghaho-e Maujud Darbare-e Ifsyae-e Raz-e Payambar Saw Dar Ayat-e Ibtidai Surehe-e Tahrim, Majalah Tarikh Dar Ayineh-e Pazuhesh, no. 11, Paiz 85.
- Zamakhsyari, Mahmud bin Amr Jarullah, al-Kasysyaf ‘an Hakaiq al-Tanzil, riset: Abdurrazzaq al-Mahdi, Beirut: Daru Ihya al-Turats al-Arabi.
- Dzahabi, Muhammad bin Ahmad, Tarikh Islam, riset: Tadamuri, Darul Kitab al-Arabi, Beirut: cetakan II, 1413 H.
- Samarqandi, Nashr bin Muhammad, Bahrul Ulum, riset: Mahmud Muthraji, Darl Fikr, Bairut.
- Sayid bin Thawus, al-Tharaif fi Ma'rifah Madzahib al-Thawaif, al-Khiyam, Qom: cetakan I, 1399 Hs.
- Shalihi al-Syami, Muhammad bin Yusuf, Subul al-Huda wa al-Russyad fi Sirah Khair al-Ibad, riset: Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, cetakan I, 1414 H.
- Amili, al-Shahih, al-Shahih min al-Sirah al-Nabi al-A'dham, Qom: Darul Hadits, 1426 H.
- Askari, Murtadha, Ahadits Ummil Mukminin Aisyah, Beirut: Majma' al-Ilmi al-Islami.
- Askari, Sayid Murtadha, Naqsye Aisyah dar Tarikh-e Islam, terjemah Atha Sardar Niya, Tehran: Majma' Ilmi Islami.
- Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, Daru al-Sya'b al-Qahirah.
- Muslim Naisyaburi, Muslim bin al-Alhajjaj, Shahih Muslim, riset: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Beirut: Daru Ihya al-Turats al-Arabi.
- Dhamin bin Syadqam, Waq'ah al-Jamal, Muhakkik Aalu Syubaib Musawi, terbitan: Muhammad, Iran, Qom: 1420 H, cetakan I.
- Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Maqatil bin Sulaiman, riset: Ahmad Farid, Darul Kutub al-Ilmiah, Libanon, Beirut: cetakan I, 1424 H.
- Nabathi, Ali bin Muhammad, al-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiqi al-Taqdim, Muhakik Ramadhan, Mikhalil, al-Maktabah al-Haidariah, Najaf: cetakan I, 1384 H.
- Nadwi, Sulaiman, Sirah al-Sayidah Aisyah Ummil Mukminin, terjemah ke Arab: Muhammad Hafidh al-Nadwi, Damaskus, Darul Kalam, 2010.
- Naisyaburi, Hasan bin Muhammad, Tafsir Gharaib al-Qur'an wa Gharaib al-Furqan, riset: Syaikh Zakaria Umairan, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut: cetakan I, 1416 H.
- Waridi, Taqi, Naqsye Hamsaran-e Rasul-e Khuda dar Hukumat-e Amir-e Mukminan, Qom: Bustan-e Kitab.
- Ya'qubi, Ahmad bin Abi Ya'qub, Tarikh al-Ya'qubi, Beirut: Daru Shadir.
- Yusufi Ghurawi, Muhammad Hadi, Mausu'ah al-Tarikh al-Islami, Qom: Majma' al-Fikri al-Islami, 1423 H.